Senin, 29 Agustus 2011

Gampang mohon maaf, sulit memaafkan

Idul Fitri mendekat. "Minal aidin wal faidzin" (mohon maaf lahir batin) akan terdengar di mana-mana. Kebiasaan ini tidak sulit untuk dilakukan. Tetapi bagaimana dengan memaafkan?


Ada sebuah cerita di ruang pengadilan. Cerita dalam konteks apartheid Afrika Selatan ini sudah tersebar luas, tetapi orang tidak tahu persis siapa pencipta cerita ini sesungguhnya. Namun cerita ini mengisahkan bagaimana memaafkan:

Seorang wanita tua berusaha perlahan-lahan untuk berdiri. Usianya sudah 70 tahun lebih. Berhadapan dengannya adalah sejumlah aparat keamanan kulit putih. Salah satunya adalah Mr. van der Broek, yang menjadi pesakitan di pengadilan dan dinyatakan bersalah karena melakukan pembunuhan. Pertama, dia membunuh putra dari perempuan itu dan kemudian membunuh suaminya.


Mr. van der Broek datang ke rumah perempuan itu. Dia mengambil putra tunggal perempuan itu, menembaknya, dan membakar jasadnya. Beberapa tahun kemudian, dia datang lagi dan mengambil suami dari keluarga kulit hitam itu. Dia menyeret pria kulit hitam itu ke pinggir sungai, mengikatnya pada sebatang pohon, lalu memanggil sang istri untuk menyaksikan sendiri bagaimana sang suami disiksa dan dipaksa berdiri di atas tumpukan kayu kering, kemudian disiram dengan bensin dan dibakarnya. Sebelum mati dalam kobaran api, dia sempat mengucapkan kata-kata terakhir ini: "Bapa, ampunilah mereka."


Kini, perempuan itu berdiri di ruang pengadilan dan mendengar pengakuan Mr. van der Broek. Seorang anggota South Africa's Truth and Reconciliation Commission menoleh kepada perempuan itu dan bertanya kepadanya: "Apa yang Anda inginkan? Bagaimana keadilan harus ditegakkan terhadap pria ini yang secara brutal telah menghancurkan keluarga Anda?"


Dengan tenang penuh keyakinan, perempuan tua itu mengatakan: "Saya menginginkan tiga hal."


Pertama: "Bawalah saya ke tempat suami saya dibakar, sehingga saya dapat mengumpulkan abu dan sisa-sisa jenazahnya untuk dimakamkan secara layak."


Dia kemudian hening sejenak, lalu melanjutkan permintaan keduanya dengan mengatakan: "Suami dan putra saya adalah keluarga saya satu-satunya. Saya ingin Mr. van der Breok menjadi putra saya. Saya ingin dua kali sebulan dia datang ke perkampungan kulit hitam dan tinggal sehari bersama saya. Saya ingin mengungkapkan kepadanya cinta seorang ibu yang masih tersisa di dalam hati saya."


"Dan akhirnya," katanya, "saya ingin Mr. van der Broek tahu bahwa saya memaafkannya karena Yesus Kristus mati untuk memaafkan. Saya ingin ada orang yang mau datang dan membawa saya ke Mr. van der Broek. Saya ingin merangkulnya sebagai tanda bahwa saya sungguh memaafkannya."


Ketika para petugas datang untuk membantu menuntun perempuan tua itu, Mr. van der Broek pingsan dan jatuh.

Cerita ini ditulis dalam selebaran untuk perayaan Ekaristi pada 27-28 Agustus di Gereja Santa Anna, Duren Sawit, Jakarta.

Setelah membaca cerita ini, saya menoleh ke kanan dan melihat patung pieta yang terletak tiga meter dari tempat duduk saya. Patung itu diletakkan persis di tempat ledakan bom yang terjadi di gereja tersebut sekitar pukul 07.05 pada 22 Juli 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar